PANDANGAN MARIA S.W. SUMARDJONO TENTANG RUU PERTANAHAN

Tidak ada komentar

Jakarta 6 September 2019
1. RUU Pertanahan (RUUP) dibentuk untuk melengkapi UUPA (UU No. 5/1960),
meluruskan tafsir terkait dengan berbagai ketentuan UUPA dan meminimalisasi
disharmoni peraturan sektoral terkait bidang pertanahan. Undang-Undang dibentuk untuk
mengikat seluruh lapisan masyarakat sesuai dengan tujuan pembentukannya dan berdaya
laku panjang; Undang-Undang tidak dimaksudkan untuk mendukung kepentingan jangka
pendek.
2. Perbaikan RUUP pasca kritik, masukan, dan keberatan dari masyarakat dan sektor terkait,
bersifat parsial/tambal sulam, sehingga RUUP tidak dapat dilihat sebagai produk hukum
yang dibangun berdasarkan konsep yang utuh.
3. RUUP belum dapat dijadikan landasan untuk mencapai keadilan agraria sesuai tujuan
Pasal 33 ayat (3) UUDNRI 1945 dan UUPA, bahkan berpotensi melanggar konstitusi;
putusan MK, Ketetapan MPR No. IX/2001; bertentangan bahkan mengganti UUPA; dan
menafikan UU sektoral terkait. Seharusnya RUUP menerjemahkan cita-cita keadilan
agraria sesuai dengan tujuan Nawacita, yakni;
a) Memberikan kepastian hukum kepemilikan tanah;
b) Mencegah krisis ekologi;
c) Mengatasi konflik;
d) Mengurangi kemiskinan;
e) Menurunkan ketimpangan ekonomi.
4. RUUP belum berpihak pada masyarakat yang lemah posisi tawarnya (petani, perempuan,
masyarakat hukum adat, dll), tetapi bagi pihak yang kuat posisi tawarnya, RUUP

a) Reforma Agraria (RA) tidak dianggap penting, pengaturannya hanya menyalin
Perpres No. 86/2018 dan tidak memasukkan RA dalam pasal-pasalnya;
b) Pendaftaran tanah dilihat sebagai kegiatan teknis-administratif belaka dan tidak
dijadikan sebagai sarana mengidentifikasi tanah-tanah yang berpotensi sebagai
objek RA sekaligus menyelesaikan konflik yang terjadi di lapangan;
c) RUUP menghambat proses pengukuhan penetapan hak ulayat dan menghapus
kemungkinan pemberian hak atas tanah di atas tanah ulayat dengan persetujuan
masyarakat hukum adat, kecuali terhadap Hak Pakai; dan
d) RUUP tidak memahami urgensi pembentukan lembaga independen untuk
penyelesaian konflik agraria yang massif dan lintas sektor.
5. RUUP memberikan kemudahan bagi kelompok yang kuat posisi tawarnya. Antara lain:
a) dapat memperoleh perpanjangan hak untuk kedua kalinya, dengan pertimbangan
yang tidak dirinci tolok ukurnya;
b) menetapkan batas maksimum penguasaan/pemilikan tanah dengan memberikan
pengecualian (skala ekonomi, partisipasi masyarakat yang lebih luas, dan program
strategis) dan boleh dilanggar dengan bersedia membayar pajak yang lebih tinggi.
Artinya membuat peraturan yang “mandul” dan bertentangan dengan Pasal 7 dan
Pasal 17 UUPA serta tidak adil jika dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku
bagi pemilik tanah pertanian yang melebihin batas maksimum yang ditetapkan,
yang wajib melepaskan tanah kelebihannya (UU tentang Landreform);
c) memberikan diskresi kewenangan yang luas kepada Menteri ATR/BPN untuk
mengatur dan mengelola pemanfaatan tanah negara, kebijakan peruntukannya
berpotensi mendukung kepentingan pihak yang kuat posisi tawarnya dan tidak
memprioritaskan tanah negara sebagai objek RA;
d) pengaturan tentang Hak Pengelolaan (HPL) sebagai aset yang diniatkan untuk
membuka peluang investasi itu berpotensi melanggar peraturan perundang-
undangan terkait pengelolaan aset dengan dampak kerugian terhadap negara yang sudah jelas sanksi hukumnya.


e) penguasaan tanah secara fisik yang melebihi pemberian hak atas tanah, cenderung
akan diputihkan statusnya. Hal ini menunjukan sikap toleran terhadap
pelanggaran dan berasumsi bahwa tanah kelebihan itu berstatus tanah negara;
f) ketertutupan informasi publik, terutama terhadap HGU (dengan menafikan UU
No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan putusan MA) itu
cenderung untuk melindungi mengapa dan siapa?;
g) membuka kemungkinan pemberian HGU di atas tanah HPL dan tanah Hak Milik,
yang berarti melanggar Pasal 2 dan Pasal 28 ayat (1) UUPA; sedangkan menurut
UUPA, HGU hanya dapat diberikan di atas tanah negara;
h) pembentukan Bank Tanah/Lembaga Pengelola Tanah itu untuk memfasilitasi
kepentingan apa dan siapa. Tujuan pembentukan BT/LPT adalah untuk
menyediakan dan mendistribusikan tanah kepada pihak ketiga dalam rangka:
kepentingan umum, kepentingan sosial, pemerataan ekonomi dan kepentingan
pembangunan. Dengan demikian tujuan tersebut jelas tidak memprioritaskan
tanah yang diperoleh itu untuk kepentingan RA.
6. RUUP alpa merumuskan tentang Hak Bangsa (menghapus Pasal 1 UUPA), tidak
mengakomodasi pluralisme hukum (menghapus Pasal 5 UUPA), memandang tanah
hanya dari fungsi ekonomi dan abai terhadap fungsi sosial (bertentangan dengan Pasal 6
UUPA) dan ekologi (bertentangan dengan Pasal 15 UUPA), serta tidak berhasil
meminimalisasi ketidakharmonisan UU sektoral terkait bidang pertanahan. Hal ini
tampak antara lain terkait pendaftaran tanah yang wajib dilakukan oleh Pemerintah
diseluruh wilayah RI (Pasal 19 UUPA) direduksi hanya menjadi pendaftaran bidang
tanah.
7. Mencermati berbagai kelemahan RUUP, yang berpotensi melanggar konstitusi putusan
MK terkait, prinsip-prinsip dalam TAP MPR No. IX/2001, bertentangan dengan falsafah
prinsip dasar dan tujuan UUPA serta menghapus/mengganti pasal-pasal dalam UUPA
serta menafikan UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 14/2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 6/2014 tentang Desa, serta tidak
mengimplementasikan keadilan agraria sesuai dengan tujuan Nawacita, maka tanpa
perbaikan yang mendasar, konseptual dan komprehensif, pengesahan yang dipaksakan
justru akan kontraproduktif....


MARIA S.W. SUMANDJONOMaria
Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, S.H., M.C.L., M.P.A. lahir di Yogyakarta, 23 April 1943. Menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang pada 1966. Ia mendapatkan gelar Master of Comparative Law (M.C.L.) dari Southern Methodist University (SMU) Dallas, Texas, tahun 1978. Selain itu, ia juga mendapatkan gelar Master of Public Administration (M.P.A.) pada 1984 dan gelar Doktoral (Ph.D.) pada 1988 dari University of Southern California (USC), Los Angeles, California.

(Keahlian :
Hukum Agraria.
PertanahanHukum yang berkaitan dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Pengadaan Tanah dan Pemukiman Kembali.
Hukum Terkait dengan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat)

Tidak ada komentar

Posting Komentar