![]() |
Diskusi publik tentang RUU Pertanahan di kantor Komnas Ham Jakarta , 6 September 2019 |
1. Komnas HAM RI sesuai Pasal 75 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia diberikan mandat untuk (a) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; dan (b) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asai manusia guma berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya dalam berbagai bidang kehidupan.
2. Dalam pelaksanaan mandat tersebut, Komnas HAM RI secara berkala dari tahun ke tahun selalu menerima pengaduan masyarakat yang bersumber pada koanik agraria. Pada 2017 sebanyak 269 kasus, tahun 2016 sebanyak 223 kasus, dan 2015 sebanyak 109 kasus; oleh karena itu sejak awal 2018 salah satu prioritas Komnas HAM adalah penuntasan persoalan konplik agraria.
3. Proses penanganan pengaduan konHik dilakukan Komnas HAM baik melalui tiga mekanisme pemantauan dan penyelidikan, mediasi dan pengkajian maupun Inkuiri Nasional ada tahun 2014-2015 belum menunjukan arah penyelesaian yang menggembirakan. Konsentrasi pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam di satu pihak dan di pihak lain, menyebabkan rakyat yang kehilangan hak atau akses atas tanah, sumberdaya alam, dan wilayah hidup. Relasi konflk tersebut berimbas pada pelanggaran dan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya, juga menyebabkan pelanggaran hak sipil dan politik terutama berkaitan dengan aspek penegakan hukum berkaitan dengan penangkapan, penahanan, kekerasan, perasaan tidak aman bahkan sampai pelanggaran hak hidup.
4. Bahwa aspek fllosofls dan yuridis agraria dan sumber daya alam adalah, pertama, Pasal 33 ayat(3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakm uran rakyat; kedua, TAP MPR Nomor IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam yang menekankan pada berbagai aspek terutama perlunya
kaji ulang terhadap peraturan perundangan; penataan terhadap dalam aspek pemilikan,
penguasaan, penggunaan, pemanfaatan tanah dan kepemilikan, pengusaan; menyelenggarakan
pendataan pertanahan dalam rangka reforma agraria; penyelesaian konflik berkenaan agraria
dan sumber daya alam; serta memperkuat kelembagaan dan kewenangan dalam rangka
pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik; dan ketiga, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang semangatnya adalah memberikan perlindungan
bagi masyarakat dalam hubungan hukum dengan agraria dan arah kebijakan nasional.
5. Ketika persoalan pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang kemudian
menimbulkan konflik tersebut belum memadai mekanisme dan penyelesaiannya, DPR dan
Pemerintah secara kolaboratif menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan
(RUU Pertanahan) yang secara muatan materi (norma-norma) yang diatur ternyata bukan
bersifat melengkapi UUPA dan sejalan dengan UUD 1945 serta TAP MPR No. IX/2001
sebagaimana dimaksud dalam angka 4 – akan tetapi bertentangan dengan semangat dan
mandat yang terkandung di dalamnya.
6. Dalam prespektif HAM beberapa hal yang bersinggungan diantaranya adalah hal-hal sebagai
berikut :
pertama, pengabaian terhadap asas kemanusiaan yang menekankan pada pentingnya upaya
perlindungan, pemenuhan dan penghormataan hak asasi manusia dalam pembentukan RUU
Pertanahan, padahal sesuai ketentuan Pasal 6 huruf b UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan asas kemanusiaan adalah kewajiban dalam
pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan, dan esensi dasar dalam persoalan
agraria terkait erat dengan permasalahan hak asasi manusia;
kedua, bahwa program reforma agraria diprioritaskan pada penataan aset dan akses dalam
penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan (Pasal 1 angka 12), dengan
menempatkan proses penyelesaian sengketa sebagaimana kondisi faktual yang terjadi saat ini
sebagai pelengkap semata;
ketiga, belum adanya pengaturan mengenai mekanisme penyelesaian konflik agararia yang
komprehensif sebagai akibat dari kebijakan pemerintahan masa lalu yang otoriter kecuali
kearah hukum formal dengan pembentukan pengadilan pertanahan yang berpotensi memiliki
keterbatasan wewenang untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang diakibatkan oleh
kebijakan negara di masa lalu;
keempat, impunitas terhadap korporasi (pemegang hak) yang menguasai lahan secara fisik
melebihi luasan haknya (Pasal 25 ayat 8), padahal dari 2,7 juta Ha lahan yang berkonflik
karena konsesi ini sebagian besar adalah tanah yang merupakan wilayah hidup masyarakat
(rakyat) dan sebagian perusahaan yang diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
kelima, pembiasan (refraksi) dan degradasi terhadap konsepsi pengaturan terhadap
masyarakat adat dan pengakuan dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 18 yang bersifat
deklaratoir dengan adanya pengaturan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal (4) yang mengatur kriteria
masyarakat adat yang diakui dan wajib pembentukan peraturan daerah.
keenam, penerapan asas kepastian hukum yang tidak proporsionalitas oleh Lembaga Penjamin
(Pasal 56), sebab proteksi hak kepemilikan (property rights) hanya dilakukan sebatas yang
memiliki sertifikat. Padahal secara faktual tanah-tanah rakyat (termasuk masyarakat adat)
banyak yang tidak memiliki sertifikat dan apabila telah terlanjur diterbitkan sertifikat oleh
lembaga pertanahan (BPN) tanpa adanya persetujuan (FPIC) tidak ada mekanisme peninjauan
sebagaimana dalam perundang-undangan sebelumnya.
ketujuh, pengabaian terhadap akses masyarakat terhadap lahan/milik dengan memperlama
jangka waktu penguasaan guna usaha bagi konsesi perusahaan sebagaimana Pasal 25 (35
tahun, diperpanjang 35 tahun dan diperpanjang 20 tahun atau total 90 tahun), permisif
terhadap penguasaan individual yang luas (5 Ha) dan apabila memiliki di berbagai tempat
hanya diberikan pajak progresif (Pasal 12 ayat 4).
kedelapan, kolonisasi oleh negara melalui penghidupan kembali asas domain verklaring
melalui pengaturan Hak Pengelolaan yang memberikan kewenangan penuh kepada
pemerintah untuk mengatur hubungan hukum dan hanya ketentuannya diatur dengan
Penetapan Pemerintah (Pasal 1 ayat 7 jo. Pasal 8 jo. Pasal 101).
Kesembilan, memperluas jerat pidana terhadap rakyat dengan penerapan/ketentuan yang
ambigu yaitu melalui Pasal 13 dengan mengancam pengenaan pidana yang menguasai dan
memanfaatkan hak atas tanah yang bertujuan spekulatif, karena pengertian tersebut tidak
jelas.
7. Berdasarkan pokok-pokok pikiran sebagaimana dimaksud, maka Komnas HAM RI meminta
Presiden melalui Kementerian terkait dan DPR RI cq. Komisi II DPR RI untuk menunda
pengesahan RUU Pertanahan, hal itu dilakukan semata-mata untuk kembali mendiskusikan
muatan materi yang diatur agar selaras dengan konstitusi, TAP MPR Nomor IX/MPR/2011
dan UUPA, serta memastikan upaya perlindungan, pemenuhaan dan penegakan HAM di bumi
Indonesia.
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA RI
1. Sandrayati Moniaga, Wakil Ketua Bidang Eksternal
2. M. Choirul Anam, Komisioner Subkom Pengkajian dan Penelitian
Tidak ada komentar
Posting Komentar