Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dari Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Indonesia. Oleh : Muhammad Aldi Maulana

PostJakarta
0
Muhammad Aldi Maulana, Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang
 

KDRT seringkali menyisakan korban bagi perempuan dengan akibat kumulatif yang tidak sederhana, seperti menurunkan rasa percaya diri, menghambat kemampuan berpartisipasi, dan mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Korban KDRT kesulitan melaporkan kejadian buruk pada penegak hukum karena ada pandangan bahwa masalah yang terjadi di rumah, termasuk perlakuan suami yang buruk, adalah hal yang bersifat pribadi. Laporan Humas Jateng: 12.185 kasus KDRT dilaporkan pada 2018 oleh Symphony PPA. Pada 2019, ada 6.009 kasus KDRT dilaporkan per 6 September. Komnas Perempuan Data CATAHU 2019: 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan, 71 di antaranya kekerasan dalam rumah tangga.

Dari data, terlihat KDRT di Indonesia serius karena tindakan tinggi/sering. Jumlah kasus KDRT yang meningkat adalah masalah serius bagi negara kita. Kekerasan terjadi dalam keluarga dan melibatkan tidak hanya pasangan tetapi juga anggota keluarga lainnya. Korban kekerasan dalam rumah tangga umumnya perempuan yang dianggap lemah. Kesalahpahaman tentang peran gender mengakar sejak zaman dahulu, dengan pandangan bahwa laki-laki lebih rasional dan perempuan lebih emosional. Perempuan difungsikan sebagai teman sampingan/ belakang dengan 3M: memasak, macak, manak. Ada anggapan bahwa laki-laki tak boleh melakukan tugas rumah tangga. Laki-laki sulit mencari nafkah di dapur.

Kekerasan terhadap perempuan menyakitkan dan membuat korban stres, depresi, dan menyalahkan diri. Perempuan terancam tanpa dukungan karena anak, takut difitnah, dan mempertahankan pernikahan. Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan mengesahkan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) No. 23 Tahun 2004. Jumlah keluarga meningkat. Tahun depan, diharapkan ada perlindungan hukum bagi anggota keluarga, terutama perempuan, dari kekerasan dalam rumah tangga berkat undang-undang ini.

Indonesia Negara Sah (Rechtstaat) & Makna HAM, menganggap HAM sbg ciri & menjunjung tinggi negara hukum. Pengakuan & perlindungan hak asasi manusia penting dalam sistem demokrasi & asas legalitas hukum pidana. Asas legalitas dalam undang-undang adalah nullum dellictum nulla poena sine pravia lege poenale yang artinya tidak ada pelanggaran atau kejahatan tanpa pengaturan terlebih dahulu. Pada hakekatnya asas legitimasi dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari perlakuan sewenang-wenang oleh penguasa. Namun anggapan tersebut saat ini bertolak belakang dengan kenyataan yang ada, pelanggaran HAM sangat sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun kelompok. Hal ini dapat berdampak negatif bagi korban, baik secara fisik maupun psikis. 

Pada dasarnya, kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk perilaku yang dilakukan oleh pelaku yang menimbulkan perasaan tidak nyaman dan ketakutan, baik berupa kekerasan fisik maupun non fisik.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), undang-undang ini mengatur:

 

a) Suami, istri, dan anak.

b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana  

  dimaksud pada huruf a, karena hubungan darah, perkawinana, pengasuhan, dan

  perwalian yang menetap dalam satu rumah tangga.

c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga

  tersebut

Artinya rumah tangga harus menjadi tempat yang aman bagi para anggotanya,  karena suami istri membangun keluarga atas dasar ikatan lahir dan batin diantara keduanya. Selain itu juga dalam pasal 33 Undang- Undang perkawinan bahwa: “Antara suami istri mempunyai kewajiban untuk saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.” Bahkan suami dan istri memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam kehidupan berumah tangga dan dalam bermasyarakat, serta berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Yang termasuk dalam cakupan rumah tangga pada Pasal 2 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu:

a) Suami, istri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri).

b) Orang-orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua,

   menantu, ipar, dan besan), pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam

   rumah tangga,, dan orang yang bekerja membantu rumah tangga tersebut, dalam

   jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Bentuk-bentuk KDRT

Kekerasan memiliki berbagai bentuk yang dapat dikelompokan seperti halnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bentuk ini dikelompokkan yaitu:

1. Kekerasan dalam area domestik/hubungan intim personal: Bentuk kekerasan dari

   pelaku dan korbannya memiliki hubungan keluarga/hubungan kedekatan lain.

2. Kekerasan dalam area publik: Bentuk kekerasan yang terjadi di luar hubungan

   keluarga atau personal

3. Kekerasan yang dilakukan oleh/dalam lingkup negara: kekerasan secara fisik,

   seksual, dan psikologis yang dilakukan, dibenarkan atau dibiarkan terjadi oleh

   negara itupun terjadi.

Bagaimana cara menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga

Sejalan dengan prinsip dan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, undang-undang ini secara khusus mengatur langkah-langkah penanganan kekerasan dalam rumah tangga untuk melindungi korban. Dalam hal ini, ada 5 cara untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, yaitu:

1.  Hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga.

2.  Kewajiban pemerintah dan masyarakat. 

3.  Melindungi korban.  

4.  Pemulihan korban. 

5. Penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga melalui penerapan sanksi hukum.  

Perlindungan hukum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004, tujuan undang-undang ini adalah untuk menyelamatkan korban kekerasan dalam rumah tangga. Tentunya ini merupakan langkah maju yang besar bagi korban KDRT untuk dapat menuntut dan merasa lebih aman karena dilindungi oleh hukum. Keberadaan hukum menentukan terselenggaranya tertib negara hukum, yang hakiki karena hukum merupakan sumber hukum yang utama. 

Jika dilihat dari kenyataan yang terjadi dalam kehidupan orang biasa. Walaupun UU No. 23 Tahun 2004 telah diundangkan, masih banyak korban yang bahkan tidak berani melaporkan kekerasannya, hal ini dikarenakan banyak faktor yang membuat mereka ragu untuk melaporkannya kepada pihak berwajib. , faktor yang membuat mereka enggan melapor antara lain perasaan dirampas karena merasa apa yang terjadi dalam keluarga adalah hal yang memalukan yang perlu ditutup-tutupi, ketergantungan ekonomi dan operasional terhadap kekuatan domestik. mengapa mereka takut untuk menyatakan. faktor yang mempengaruhi hal ini. Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan Indonesia disebabkan sebelum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 disahkan. Sudah banyak laporan kekerasan dalam rumah tangga, namun laporan tersebut tidak ditindaklanjuti sampai penyidikan. tahap pelaku kekerasan. 

Menurut UU No. 3 Tahun 2004, parameter  penghapusan kekerasan dalam rumah tangga didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Penghormatan terhadap hak asasi manusia

2. Keadilan dan kesetaraan gender

3. Non-diskriminasi

4. Lindungi korban.

Kemudian, dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004  dijelaskan bahwa salah satu tujuan  penghapusan KDRT adalah untuk mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam keluarga. Dengan demikian diharapkan berbagai tindak kekerasan  dalam rumah tangga yang sekarang sangat marak terjadi di negara kita dapat dihilangkan dari kehidupan masyarakat kita.Polisi keamanan sementaraMenurut undang-undang untuk melindungi istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tanggabahwa hukum adalah

1. perlindungan sementara

2. pemberian perintah perlindungan  pengadilan

3. menyediakan Ruang Misi Khusus (RPK) di Polres

4. menyediakan rumah yang aman atau tempat berlindung alternatif

5. pemberian nasihat hukum kepada korban oleh kejaksaan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan peninjauan kembali di persidangan.

Perhatikan bahwa sebagian besar aparat penegak hukum adalah  laki-laki, sehingga sesuai dengan undang-undang ini disediakan organisasi khusus yaitu RPK di  kepolisian bersama dengan petugas khususnya, petugas polisi, sehingga korban tidak takut untuk melaporkan kekerasan yang mereka lakukan. telah menderita. Sampai saat ini, banyak korban KDRT yang tidak dapat keluar dari siklus kekerasan karena takut atau takut melaporkannya ke penegak hukum. Salah satu penyebab  ketakutan atau keengganan korban  adalah kecenderungan polisi untuk bertanya, sehingga menimbulkan kesan bahwa mereka tidak melindungi korban tetapi justru menyalahkan mereka. Dalam beberapa kasus, laporan korban KDRT tidak ditanggapi serius oleh polisi. Seharusanya sesuai dengan undang-undang ini disediakan organisasi khusus yaitu RPK di kepolisian bersama dengan petugas khususnya, petugas polisi, sehingga korban tidak takut untuk melaporkan kekerasan. yang mereka lakukan. Sampai saat ini, banyak korban KDRT yang tidak dapat keluar dari siklus kekerasan karena takut atau takut melaporkannya ke penegak hukum.

(Tugas Opini)

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)