PEMBELAJARAN DARI KARHUTLA 2019

PostJakarta
0


Kebakaran Hutan dan Lahan tahun 2019
Sejak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) skala besar yang terjadi pada 2015 di
mana kerugian ekonomi akibat bencana tersebut mencapai 221 Trilyun rupiah, setiap
tahunnya masih saja terjadi. Penyebab utamanya masih karena ulah manusia yang
menggunakan api untuk membersihkan biomasa di atas lahan dalam bercocok tanam.
Walaupun cara ini merupakan yang termurah bagi si pelaku, namun dampak ekonomi
bagi masyarakat luas jauh lebih mahal dan harus ditanggung oleh pihak lain.
Karhutla terjadi pada tahun di mana variabilitas iklim menyebabkan kekeringan di
luar kondisi normal. Fenomena El Niño menyebabkan berkurangnya curah hujan
setiap empat tahun, serta fase di Dipole Samudera Hindia yang mengarah ke laut
lebih tinggi sehingga memengaruhi suhu permukaan. Jika terjadi fenomena El Nino
atau IOD positif yang lebih kuat seperti pada 2015, maka upaya pencegahan yang
telah berusaha ditingkatkan selama ini masih belum memadai.
Suhu panas di seluruh dunia menjadi penyebab kekeringan panjang sehingga
karhutla yang terjadi tidak hanya di Indonesia. Pada 2019 tercatat tingkat karhutla
buatan manusia terbesar di Indonesia sejak 2015, yang mengeluarkan kabut tebal
dan menyelimuti setidaknya delapan provinsi serta menghambat kegiatan ekonomi
baik di dalam maupun di luar negeri. Bank Dunia merilis hasil perhitungan kerugian
ekonomi akibat karhutla pada 2019 mencapai Rp 75 Trilyun (sekitar USD 5,2 miliar)
atau setara dengan 0.5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) yang berdampak
terutama pada sektor pertanian, transportasi, perdagangan, industri, dan lingkungan.
Secara regional, provinsi Kalimantan Tengah dan provinsi Kalimantan Selatan
mengalami dampak ekonomi yang terbesar yaitu 7.9 dan 6.1 persen dari PDRB.
Perhitungan ini didasarkan pada data luasan wilayah terbakar di provinsi Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, dan Papua, seluas 620.201 hektar, sesuai dengan data Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per September 2019. Selain itu,
diperhitungkan pula luas area terbakar hasil pemetaan dengan data penginderaan
jauh periode Oktober 2019 di provinsi Sumatera Selatan.
Karhutla terjadi di perbatasan kawasan hutan karena perluasan area bercocok tanah
untuk perkebunan atau pertanian, dan di lokasi yang status tanahnya dipertentangkan
khususnya di perbatasan dan di dalam kawasan hutan negara. Karhutla terjadi di lokasi
yang relatif sama, yaitu di desa-desa rawan karhutla yang telah diketahui sebelumnya.
Hingga akhir September 2019, lebih dari 900.000 orang melaporkan penyakit
kesehatan pernapasan, 12 bandara nasional menghentikan operasi, dan ratusan
sekolah di Indonesia, Malaysia, dan Singapura harus ditutup sementara.

KERUGIAN EKONOMI KARHUTLA

Sejak kebakaran hutan dan Iahan (karhutla) skala besar yang terjadi pada 2015 di

mana kerugian ekonomi akibat bencana tersebut mencapai 221 Tntyun rupiah, setiap tahunnya masih saja terjadi. Penyebab utamanya masih karena ulah manusia yang menggunakan api untuk membersihkan biomasa di atas Iahan dalam bercocok tanam. Walaupun cara ini merupakan yang termurah bagi si pelaku, namun dampak ekonomi bagi masyarakat luas jauh leblh mahal dan harus dltanggung oleh pihak lain.

Karhutla terjadi pada tahun di mana variabllltas iklim menyebabkan kekeringan di luar kondisi normal. Fenomena El Nlho menyebabkan berkurangnya cwah hujan setiap empat tahun, serta fase di Dipole Samudera andia yang mengarah ke laut lebih tinggi sehingga memengaruhi suhu permukaan. Jlka terjadi fenornena El Nino atau IOD posntif yang lebih kuat seperti pada 2015, maka upaya pencegahan yang telah berusaha ditingkatkan selama ini maSth belum memadai.

Suhu panas di seluruh dunia menjadi penyebab kekeringan panjang sehingga karhutla yang terjadi tidak hanya di Indonesia. Pada 2019 tercatat tingkat karhutla buatan manusia terbesar di Indonesia sejak 2015,yang mengeluarkan kabut tebal dan menyelimuti setidaknya delapan provinsi serta menghambat kegiatan ekonomi baik di dalam maupun dn luav negeri. Bank Dunia merilis hasil perhntungan kerugian ekonomi akibat karhutla pada 2019 mencapai Rp 75 Tnlyun (sekitar USD 5,2 mllnar) atau setara dengan 0.5 persen Produk Domestlk Bruto (PDB) yang berdampak terutama pada sektor penanian, transportasi, perdagangan, industri, dan lingkungan. Secara regional, provinsi Kalimantan Tengah dan provinsi Kalimantan Selatan mengalami dampak ekonomi yang terbesar yaitu 7.9 dan 6.1 persen dari PDRB.

Perhitungan ini didasarkan pada data luasan wilayah terbakar d1 provinsi Riau,

Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Papua, seluas 620201 hektar, sesuai dengan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per September 2019. Selain itu, diperhitung kan pula luas area terbakar hasil pemetaan dengan data penginderaan jauh periode Oktober 2019 di provinsi Sumatera Selatan.

Karhutla terjadi di perbatasan kawasan hutan karena peduasan area bercocok tanah untuk perkebunan atau pertanlan, dan dI lokasi yang status tanahnya dipertentangkan khususnya di perbatasan dan di dalam kawasan hutan negara. Karhutla terjadi di lokasi yang relatlf sama, yaitu di desa-desa rawan karhutla yang telah diketahui sebelumnya. Hingga akhir September 2019, lebih dari 900.000 orang melaporkan penyakit kesehatan pernapasan, 12 bandara nasional menghentlkan operasi, dan ratusan sekolah di Indonesia, Malaysia, dan Singapura harus ditutup sementara.

Pemadaman api yang telah membesar sulit dikendalikan sehingga membutuhkan biaya sangat besar dan cenderung tidak efektif. Sejak 2015 sampai 2019, Dana Siap Pakai yang sudah digunakan untuk penanganan karhutla selama 5 tahun telah mencapai Rp 8,6 Trilyun.

UPAYA UPAYA PENCEGAHAN KARHUTLA

Pencegahan adalah langkah terbaik dalam penanganan karhutla. Pemadaman total hanya bisa dari air hujan. Penyuluhan
terpadu dan terintegrasi terkait pemahaman dan peningkatan kapasitas dalam mengelola hutan dan lahan perlu semakin
ditingkatkan. Upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan yaitu:

 Menegakkan hukum bagi pelaku pembakar hutan. Polri harus membentuk satgas di
daerah-daerah yang mungkin terjadinya karhutla dan berkordinasi dengan Jaksa Agung dan
Mahkamah Agung agar para pelaku dapat dihukum dengan seadil-adilnya.

Memetakan daerah potensi karhutla. Pangdam dan Kapolda dapat memetakan daerah yang
mungkin terjadi karhutla saat musim kemarau agar upaya pencegahan dapat dilakukan. Selain
itu, patroli udara di daerah-daerah tertentu untuk memantau adanya titik api harus dilakukan.

Melakukan pendekatan ke pemerintah daerah untuk mitigasi bencana. Kementerian
Dalam Negeri perlu segera melakukan pendekatan ke pemerintah daerah yang sering terjadi
karhutla agar tidak membakar lahan untuk membuka lahan-lahan mereka.

Meningkatkan program pengolahan lahan tanpa bakar (PLTB). KLHK perlu memberikan
penghargaan kepada pemerintah, aparat TNI/POLRI, relawan dan masyarakat yang berkontribusi
dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan.

Membentuk satgas pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dalam satu
komando. Komando harus berisikan pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan
swasta.

Merubah perilaku dari buka lahan dengan pembakaran menjadi tanpa bakar.
Penyuluhan terpadu untuk peningkatan ekonomi masyarakat perlu dilakukan. Kementerian
Pertanian perlu mengenalkan penanaman pohon yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti
nanas, lidah buaya, aren, sagu, porang, kopi liberika, dan ikan gabus.

Mengembalikan gambut sebagaimana kodratnya yaitu selalu basah, berair dan
berawa. Prioritas pengendalian karhutla adalah dengan pembasahan karena api pada
prinsipnya takut air. Pembangunan sekat kanal untuk menjaga lahan tetap berair perlu dilaknakan dengan segera.
(Humas BNPB)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)