Berita

5/cate1/Berita

lifestyle

6/cate2/lifestyle

Travel

5/cate5/Travel

entertainment

6/cate3/entertainment

Sport

5/cate4/Sport

videos

3/cate6/videos

Recent post

Dampak Ekspor Pasir Laut Bagi Lingkungan Hidup . Oleh Wirdha Chaerunnisa:


         

Wirdha Chaerunnisa Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang

 Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Jadi sudah kewajiban kita sebagai manusia untuk melestarikan lingkungan di sekitar kita agar terhindar dari kerusakan, pelestarian lingkungan hidup itu sendiri memiliki arti sebagai berikut pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

          Ekspor pasir laut ini sudah di berhentikan sejak tahun 2003 dengan alasan utamanya ialah menyebabkan kerusakan lingkungan akibat dari penambangan pasir laut. Saat itu banyak pulau-pulau kecil di Indonesia, terutama di sekitar wilayah terjauh dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau, tenggelam akibat penambangan pasir. Selain itu, larangan ekspor diberlakukan karena batas maritim Indonesia-Singapura belum ditetapkan. Proyek reklamasi di Singapura yang mengambil bahan baku pasir laut di perairan Riau, juga diperkirakan akan berdampak pada perbatasan wilayah kedua negara. sebagaimana ini disebutkan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117 Tahun 2003.

           Sebelum pelarangan di berlakukan, Indonesia merupakan pemasok pasir laut terbesar untuk kebutuhan reklamasi Singapura. Ekspor pasir laut dari Indonesia ke Singapura rata-rata mencapai 53 juta ton per tahun antara tahun 1997 hingga 2002. Berdasarkan laporan PBB pada 2019, Singapura merupakan importir terbesar pasir laut di dunia. Dalam dua dekade, Singapura telah mengimpor 517 juta ton pasir laut dari tetangga. Kemudian, Malaysia mengikuti jejak Indonesia melarang ekspor pasir laut pada 2019. Saat itu, Malaysia menjadi pemasok utama pasir laut bagi Singapura.

           Tetapi baru-baru ini pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengolahan Hasil Sedimentasi Laut, yang mana didalam Peraturan Pemerintah tersebut di izinkan kembali ekspor pasir laut yang terdapat didalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah tersebut. Tentu ini mendapat penolakan dari berbagai lapisan masyarakat terutama bagi para nelayan yang mata pencahariannya di laut dan masyarakat yang tinggal didaerah pesisir pantai. Karena jika diizinkan kembali akan menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang berpotensi dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil.

          Berdasarkan Pasal 1 ayat (17) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi: “Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Meskipun jika ingin melakukan ekspor laut harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan didalam Peraturan Pemerintah tersebut, tetapi tetap saja akan merusak lingkungan dan habitatnya. Karena mengubah kontur dasar laut, mempengaruhi pola arus dan gelombang laut. Selain itu, kerusakan yang dialami oleh masyarakat pesisir secara kelompok akan dipengaruhi langsung oleh perubahan ekologi akibat penambangan pasir laut.

           Penambangan pasir laut dapat meningkatkan turbulensi, yang menyebar peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 menekankan tentang dasar hukum pemanfaatan hasil sedimentasi, khususnya pasir laut, dengan mengedepankan keberlanjutan ekologi dan kepentingan negara. Dampak negatif ekspor pasir laut juga meningkatkan abrasi pantai and erosi pantai, Penyebab utama erosi pantai adalah hambatan gelombang yang tidak optimal dan banyaknya aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab, seperti perusakan karang pantai, penambangan mangrove, penambangan pasir, dan proyek konstruksi di sepanjang pantai. Selain itu, di beberapa daerah, faktor penyebab abrasi pantai ini adalah tindakan menggali pasir di sepanjang pantai  lalu sedimentasi yang diakibatkannya juga dapat mengganggu jalur pelayaran, yang pada akhirnya menghambat aktivitas ekonomi di laut. Selain itu, degradasi pasir laut dapat menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang dan biota laut. Belum lagi dampak sosial dari penambangan pasir laut, termasuk konflik antara aktivis lingkungan dan operator penambangan pasir laut.

           Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Martin Manurung menilai kebijakan ekspor pasir laut lebih banyak berisiko negatif. Karena itu, ia meminta pemerintah untuk mengkaji ulang izin tersebut sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Beliau menjelaskan, ekspor diperbolehkan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi sesuai dengan perundang-undangan. Namun, Martin mempertanyakan cara pengawasannya yang masih belum jelas.

(Wirdha Chaerunnisa Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang)

 

Referensi

• Kasim, Aryanti. “PENAMBANGAN ATAU PENGERUKAN PASIR LAUT.”

• https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/44816/t/Martin+Manurung%3A+Kebijakan+Ekspor+Pasir+Laut+Lebih+Banyak+Risiko+Negatif

• https://nasional.tempo.co/amp/1731789/izin-kembali-dibuka-setelah-20-tahun-ini-kilas-balik-pelarangan-ekspor-pasir-laut-di-indonesia

• https://ekonomi.republika.co.id/berita/rvi36r490/ekspor-pasir-laut-dibuka-lagi-siapa-yang-untung

• Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kebocoran Data Nasabah. Oleh : Fahra Safitri

Fahra Safitri,  Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang

 A. URAIAN FAKTA DAN KRONOLOGIS

1. Data dan password internal dari salah satu Bank yang ada di Indonesia disebut telah bocor sejak libur Lebaran. Layanan Bank tersebut mengalami gangguan terjadi karena ransomware oleh LockBit.

2. Pada 8 Mei 2023, semua data nasabah Bank tersebut sebesar 1.5 TB sudah berhasil di kopi dan aksi enkripsi dilakukan.

B. ANALISIS HUKUM

Permasalahan hukum yang dialami oleh nasabah Bank tersebut adalah kebocoran data pribadi, yang mana merupakan pelanggaran hak asasi manusia berupa hak atas perlindungan diri pribadi dan privasi. Perihal kebocoran data pribadi tersebut telah melanggar ketentuan dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi sebagai berikut:

“(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Bank tersebut merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kebocoran data pribadi tersebut, hal ini dikarenakan Bank tersebut sebagai Pengendali Data Pribadi (Pasal 19 UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi atau UU PDP) telah Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Unsur-unsur PMH telah terpenuhi dalam kasus kebocoran data terkait, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1365 KUHPer, yang berbunyi:

”Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. ”

Dalam pasal ini, terdapat empat unsur yang perlu dibuktikan agar suatu perkara dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum, yakni: (1) unsur perbuatan melawan hukum; (2) unsur kerugian; dan (3) unsur kausalitas. Bahwa terhadap unsur pertama, yaitu merupakan unsur perbuatan yang melawan hukum, dapat dilihat melalui gagalnya perlindungan keamanan maupun kerahasiaan data pribadi para nasabah dari Bank tersebut, sebagaimana tanggung jawab Pengendali Data Pribadi wajib untuk melindungi kerahasiaan data pribadi dan mencegah akses secara tidak sah terhadap data tersebut. (Pasal 47 jo. Pasal 39 ayat (1) UU PDP). Dasar hukum lainnya dapat ditemukan dalam peraturan berikut:

a. Pasal 26 huruf a Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik,

“Pemilik Data Pribadi berhak: a. atas kerahasiaan Data Pribadinya”

b. Pasal 36 UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)

“Dalam melakukan pemrosesan Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi wajib menjaga kerahasiaan Data Pribadi.”

Menurut Abdulkadir Muhammad, dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa perkara perdata dapat terjadi karena pelanggaran terhadap hak seseorang, yang mana pelanggaran tersebut dapat terjadi karena perbuatan melawan hukum (oonrechtmatige daad) yang menimbulkan kerugian bagi orang lain.  Pelanggaran hak seseorang itu dapat terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian.

Selanjutnya unsur kedia, yakni unsur kerugian, dapat dilihat melalui kerugian immateriil. Immateriil menurut terminologi hukum (I.P.M. Ranuhandoko B.A) diartikan “tidak bisa dibuktikan” sehingga kerugian immateriil merupakan kerugian yang diderita akibat perbuatan melawan hukum yang tidak dapat dibuktikan, dipulihkan kembali dan atau menyebabkan terjadinya kehilangan kesenangan hidup sementara, ketakutan, sakit, dan terkejut sehingga tidak dapat dihitung berdasarkan uang. Dalam kasus ini, kerugian immateriil yang dialami oleh nasabah berupa perasaan takut (unsafe) karena data pribadi nasabah berpotensi disalahgunakan. Uang yang ada di dalam bank juga memiliki potensi untuk dicuri. Kemudian unsur ketiga, yakni unsur kausalitas, dapat dilihat dari hubungan antara kelalaian (kebocoran data) yang dilakukan Bank tersebut dengan kerugian immateriil yang dialami para nasabah.

Pihak Bank tersebut dapat dikatakan lalai dan tidak beritikad baik apabila tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 46 ayat (1) UU PDP pada saat mengetahui adanya kebocoran data pribadi terhadap nasabahnya. Pasal terkait menyatakan sebagai berikut:

”(1) Dalam hal terjadi kegagalan Pelindungan Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi wajib pemberitahuan secara tertulis paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam kepada: a. Subjek Data Pribadi; dan b. lembaga.

(2) Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat: Data Pribadi yang terungkap; kapan dan bagaimana Data Pribadi terungkap; dan upaya penanganan dan pemulihan atas terungkapnya Data Pribadi oleh Pengendali Data Pribadi.

(3) Dalam hal tertentu, Pengendali Data Pribadi wajib memberitahukan kepada masyarakat mengenai kegagalan Pelindungan Data Pribadi.”

C. UPAYA HUKUM

Bahwa apabila upaya penyelesaian sengketa dengan melakukan negosisasi tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka melihat fakta bahwa telah dikuasainya data pribadi nasabah oleh Bank tersebut selaku Pengendali Data Pribadi dan perbuatan ini menimbulkan kerugian secara immateriil, maka para nasabah dapat mengajukan gugatan class action secara perdata kepada Bank tersebut atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana telah dipenuhinya unsur-unsur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Gugatan ini diperkuat dengan dasar hukum berupa Pasal 12 ayat (1) UU PDP:

“Subjek Data Pribadi berhak menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran pemrosesan Data Pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

(Fahra Safitri,  Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang)

 

REFERENSI

Abdulkadir Muhammad, 2014, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.

I.P.M, Ranuhandoko, 2006, Terminologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Khadijah Shahnaz, "Data dan Password BSI (BRIS) Bocor, Pakar Ungkap Kronologinya", Diakses melalui https://finansial.bisnis.com/read/20230513/90/1655579/data-dan-password-bsi-bris-bocor-pakar-ungkap-kronologinya pada tanggal 26 Mei 2023.

https://media.neliti.com/media/publications/18068-ID-tuntutan-ganti-rugi-dalam-perbuatan-melawan-hukum-suatu-perbandingan-dengan-wanp.pdf

Analisis Urgensi Hukum dalam Pendaftaran dan Perlindungan Hak Cipta : Aurelia Farisha Malifa


Aurelia Farisha Malif Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang (201010201053)  )

Kerangka hukum perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), termasuk hak cipta, paten, merek dagang, desain industri, dan rahasia dagang, ada di Indonesia karena merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi beberapa konvensi mengenai kekayaan intelektual di berbagai dunia. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang telah dirubah dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 yang mana UU Hak Cipta tersebut mengatur perlindungan hukum terhadap semua karya cipta, termasuk yang berada di ranah hasil atau karya seni manusia. Berbagai perjanjian atau konvensi internasional seperti halnya Trips Agreement telah menjadi dasar dalam pembentukan undang-undang ini.

Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa banyak karya berhak cipta, termasuk yang dibuat oleh orang dan bisnis, tetapi terutama di bidang karya ciptaan, akan dilindungi. Kedudukan hak cipta di satu sisi dan hak terkait di sisi lain juga telah dipisahkan oleh UU Hak Cipta. Hal ini dilakukan agar kekayaan intelektual yang bersangkutan lebih jelas terlindungi.

Undang-undang menyatakan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk menyatakan, memperbanyak, atau memberikan izin atas ciptaannya tanpa mengurangi batas-batas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Klausul-klausul ini menunjukkan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif, dengan kemampuan pencipta atau pemegang hak lainnya untuk mengontrol bagaimana ciptaan mereka digunakan atau dimanfaatkan. Hak cipta juga bersifat deklaratif, artinya pemilik hak mendapat perlindungan hukum segera setelah suatu ciptaan dihasilkan. Namun suatu ciptaan dapat didaftarkan dan dimasukkan dalam daftar umum ciptaan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk memperkuat kedudukan hukumnya.

Menurut Penjelasan Umum UU Hak Cipta, dijelaskan bahwa hak cipta terdiri dari hak moral dan hak ekonomi. Hak ekonomi adalah kemampuan untuk mendapatkan keuntungan finansial dari ciptaan dan barang terkait. Bahkan setelah hak cipta atau hak terkait telah dialihkan, pencipta masih memiliki beberapa hak yang dikenal sebagai hak moral. Namun, karena karya berhak cipta harus memiliki bentuk yang khas, unik bagi penciptanya, dan menunjukkan keasliannya sebagai karya berhak cipta, perlindungan hak cipta tidak diberikan pada konsep atau gagasan. Bakat, kreativitas, dan kompetensi seniman menentukan terciptanya karya yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar.

Menurut penjelasan di atas, secara umum ada dua alasan mengapa hak cipta yang dimiliki oleh pencipta suatu karya cipta harus dijamin sesuai dengan undang-undang. Pertama, ada faktor ekonomi, disusul faktor non ekonomi. Perlindungan hukum dirancang untuk membela kepentingan finansial, seperti klaim pencipta atas imbalan atas karya yang dicakup oleh hak cipta, yang merupakan justifikasi ekonomi. Akibatnya, pencipta atau pemilik hak atas suatu Ciptaan dapat memperoleh keuntungan materil dari Ciptaan yang dimilikinya.

Dalam hal ini, pencipta atau pemegang hak cipta dilindungi dari peniruan, pembajakan, plagiarisme, atau kegiatan penipuan lainnya yang dilakukan oleh pihak ketiga atas karya yang dimilikinya. Yang kedua adalah justifikasi non-ekonomis, dan menyatakan bahwa perlindungan hukum dimaksudkan untuk memajukan “aktualisasi diri” seniman agar mereka terinspirasi dan lebih kreatif dalam menciptakan karya-karya berhak cipta berikutnya.

Adapun perlindungan hukum secara ekstra, Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta pada hakekatnya dirancang untuk memberikan rasa aman kepada seniman atau pihak pemegang hak cipta, khususnya dalam dunia usaha. Namun fakta menunjukkan bahwa berbagai jenis pelanggaran hak cipta, seperti peniruan, pembajakan, plagiarisme, dan tindakan penipuan lainnya, masih sering terjadi di masyarakat. Biasanya, pemilik hak cipta, apakah itu orang atau bisnis, memiliki wewenang untuk menetapkan harga dan menuai hasil kerja mereka untuk jangka waktu tertentu.

( Aurelia Farisha Malif Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang (201010201053)  )

Memahami Pilosofi Pancasila Para Siswa SMPN 10 Kota Depok Laksanakan Upacara Bendera



 Bedahan,  Depok
Siswa siswi SMPN. 10 Kota Depok mengadakan upacara bendera dalam rangka memperingati hari Kesaktian Pancasila. (1 Juni 1945 -1 Juni 2023).  Seluruh Siswa peserta upacara berkumpul di lapangan / halaman sekolah. Upacara menggunakan kostum seragam upacara. Putih biru. Cuaca yang cerah mengiringi upacara khidmat pada pagi itu. Tak hanya diikuti oleh siswa, upacara juga diikuti oleh seluruh guru maupun karyawan. (01/06/2023)


Kepala sekolah SMPN 10 Kota Depok Sumarno, M.Pd. menyampaikan beberapa amanat yang terangkum dalam filosofi prinsip-prinsip pancasila, yakni ketuhanan, Kemanusiaan, ke-Bhineka-an, Dekomrasi dan Keadilan sosial. Pak Marno  juga menambahkan perlunya siswa-siswi melanjutkan perjuangan pahlawan, menghargai perjuangan pahlawan, hingga tak lupa Pak Marno berpesan pada siswa untuk rajin belajar dan juga menjaga kebersihan lingkungan sekolah.

Saya harap siswa-siswi SMPN 10 dapat mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan sederhana, sehingga dapat menjadi dan membentuk karakter. Dikemudian hari pasti itu sangat bermanfaat. Jika sudah menjadi karakter InsyaAllah akan menjadi budaya, hingga tercipta suasana yang aman, damai dan harmonis,” pungkas Pak Marno dalam sambutannya.

Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dari Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Indonesia. Oleh : Muhammad Aldi Maulana

Muhammad Aldi Maulana, Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang
 

KDRT seringkali menyisakan korban bagi perempuan dengan akibat kumulatif yang tidak sederhana, seperti menurunkan rasa percaya diri, menghambat kemampuan berpartisipasi, dan mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Korban KDRT kesulitan melaporkan kejadian buruk pada penegak hukum karena ada pandangan bahwa masalah yang terjadi di rumah, termasuk perlakuan suami yang buruk, adalah hal yang bersifat pribadi. Laporan Humas Jateng: 12.185 kasus KDRT dilaporkan pada 2018 oleh Symphony PPA. Pada 2019, ada 6.009 kasus KDRT dilaporkan per 6 September. Komnas Perempuan Data CATAHU 2019: 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan, 71 di antaranya kekerasan dalam rumah tangga.

Dari data, terlihat KDRT di Indonesia serius karena tindakan tinggi/sering. Jumlah kasus KDRT yang meningkat adalah masalah serius bagi negara kita. Kekerasan terjadi dalam keluarga dan melibatkan tidak hanya pasangan tetapi juga anggota keluarga lainnya. Korban kekerasan dalam rumah tangga umumnya perempuan yang dianggap lemah. Kesalahpahaman tentang peran gender mengakar sejak zaman dahulu, dengan pandangan bahwa laki-laki lebih rasional dan perempuan lebih emosional. Perempuan difungsikan sebagai teman sampingan/ belakang dengan 3M: memasak, macak, manak. Ada anggapan bahwa laki-laki tak boleh melakukan tugas rumah tangga. Laki-laki sulit mencari nafkah di dapur.

Kekerasan terhadap perempuan menyakitkan dan membuat korban stres, depresi, dan menyalahkan diri. Perempuan terancam tanpa dukungan karena anak, takut difitnah, dan mempertahankan pernikahan. Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan mengesahkan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) No. 23 Tahun 2004. Jumlah keluarga meningkat. Tahun depan, diharapkan ada perlindungan hukum bagi anggota keluarga, terutama perempuan, dari kekerasan dalam rumah tangga berkat undang-undang ini.

Indonesia Negara Sah (Rechtstaat) & Makna HAM, menganggap HAM sbg ciri & menjunjung tinggi negara hukum. Pengakuan & perlindungan hak asasi manusia penting dalam sistem demokrasi & asas legalitas hukum pidana. Asas legalitas dalam undang-undang adalah nullum dellictum nulla poena sine pravia lege poenale yang artinya tidak ada pelanggaran atau kejahatan tanpa pengaturan terlebih dahulu. Pada hakekatnya asas legitimasi dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari perlakuan sewenang-wenang oleh penguasa. Namun anggapan tersebut saat ini bertolak belakang dengan kenyataan yang ada, pelanggaran HAM sangat sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun kelompok. Hal ini dapat berdampak negatif bagi korban, baik secara fisik maupun psikis. 

Pada dasarnya, kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk perilaku yang dilakukan oleh pelaku yang menimbulkan perasaan tidak nyaman dan ketakutan, baik berupa kekerasan fisik maupun non fisik.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), undang-undang ini mengatur:

 

a) Suami, istri, dan anak.

b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana  

  dimaksud pada huruf a, karena hubungan darah, perkawinana, pengasuhan, dan

  perwalian yang menetap dalam satu rumah tangga.

c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga

  tersebut

Artinya rumah tangga harus menjadi tempat yang aman bagi para anggotanya,  karena suami istri membangun keluarga atas dasar ikatan lahir dan batin diantara keduanya. Selain itu juga dalam pasal 33 Undang- Undang perkawinan bahwa: “Antara suami istri mempunyai kewajiban untuk saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.” Bahkan suami dan istri memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam kehidupan berumah tangga dan dalam bermasyarakat, serta berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Yang termasuk dalam cakupan rumah tangga pada Pasal 2 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu:

a) Suami, istri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri).

b) Orang-orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua,

   menantu, ipar, dan besan), pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam

   rumah tangga,, dan orang yang bekerja membantu rumah tangga tersebut, dalam

   jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Bentuk-bentuk KDRT

Kekerasan memiliki berbagai bentuk yang dapat dikelompokan seperti halnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bentuk ini dikelompokkan yaitu:

1. Kekerasan dalam area domestik/hubungan intim personal: Bentuk kekerasan dari

   pelaku dan korbannya memiliki hubungan keluarga/hubungan kedekatan lain.

2. Kekerasan dalam area publik: Bentuk kekerasan yang terjadi di luar hubungan

   keluarga atau personal

3. Kekerasan yang dilakukan oleh/dalam lingkup negara: kekerasan secara fisik,

   seksual, dan psikologis yang dilakukan, dibenarkan atau dibiarkan terjadi oleh

   negara itupun terjadi.

Bagaimana cara menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga

Sejalan dengan prinsip dan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, undang-undang ini secara khusus mengatur langkah-langkah penanganan kekerasan dalam rumah tangga untuk melindungi korban. Dalam hal ini, ada 5 cara untuk mengatasi kekerasan dalam rumah tangga, yaitu:

1.  Hak-hak korban kekerasan dalam rumah tangga.

2.  Kewajiban pemerintah dan masyarakat. 

3.  Melindungi korban.  

4.  Pemulihan korban. 

5. Penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga melalui penerapan sanksi hukum.  

Perlindungan hukum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam UU No. 23 Tahun 2004, tujuan undang-undang ini adalah untuk menyelamatkan korban kekerasan dalam rumah tangga. Tentunya ini merupakan langkah maju yang besar bagi korban KDRT untuk dapat menuntut dan merasa lebih aman karena dilindungi oleh hukum. Keberadaan hukum menentukan terselenggaranya tertib negara hukum, yang hakiki karena hukum merupakan sumber hukum yang utama. 

Jika dilihat dari kenyataan yang terjadi dalam kehidupan orang biasa. Walaupun UU No. 23 Tahun 2004 telah diundangkan, masih banyak korban yang bahkan tidak berani melaporkan kekerasannya, hal ini dikarenakan banyak faktor yang membuat mereka ragu untuk melaporkannya kepada pihak berwajib. , faktor yang membuat mereka enggan melapor antara lain perasaan dirampas karena merasa apa yang terjadi dalam keluarga adalah hal yang memalukan yang perlu ditutup-tutupi, ketergantungan ekonomi dan operasional terhadap kekuatan domestik. mengapa mereka takut untuk menyatakan. faktor yang mempengaruhi hal ini. Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan Indonesia disebabkan sebelum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 disahkan. Sudah banyak laporan kekerasan dalam rumah tangga, namun laporan tersebut tidak ditindaklanjuti sampai penyidikan. tahap pelaku kekerasan. 

Menurut UU No. 3 Tahun 2004, parameter  penghapusan kekerasan dalam rumah tangga didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Penghormatan terhadap hak asasi manusia

2. Keadilan dan kesetaraan gender

3. Non-diskriminasi

4. Lindungi korban.

Kemudian, dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004  dijelaskan bahwa salah satu tujuan  penghapusan KDRT adalah untuk mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam keluarga. Dengan demikian diharapkan berbagai tindak kekerasan  dalam rumah tangga yang sekarang sangat marak terjadi di negara kita dapat dihilangkan dari kehidupan masyarakat kita.Polisi keamanan sementaraMenurut undang-undang untuk melindungi istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tanggabahwa hukum adalah

1. perlindungan sementara

2. pemberian perintah perlindungan  pengadilan

3. menyediakan Ruang Misi Khusus (RPK) di Polres

4. menyediakan rumah yang aman atau tempat berlindung alternatif

5. pemberian nasihat hukum kepada korban oleh kejaksaan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan peninjauan kembali di persidangan.

Perhatikan bahwa sebagian besar aparat penegak hukum adalah  laki-laki, sehingga sesuai dengan undang-undang ini disediakan organisasi khusus yaitu RPK di  kepolisian bersama dengan petugas khususnya, petugas polisi, sehingga korban tidak takut untuk melaporkan kekerasan yang mereka lakukan. telah menderita. Sampai saat ini, banyak korban KDRT yang tidak dapat keluar dari siklus kekerasan karena takut atau takut melaporkannya ke penegak hukum. Salah satu penyebab  ketakutan atau keengganan korban  adalah kecenderungan polisi untuk bertanya, sehingga menimbulkan kesan bahwa mereka tidak melindungi korban tetapi justru menyalahkan mereka. Dalam beberapa kasus, laporan korban KDRT tidak ditanggapi serius oleh polisi. Seharusanya sesuai dengan undang-undang ini disediakan organisasi khusus yaitu RPK di kepolisian bersama dengan petugas khususnya, petugas polisi, sehingga korban tidak takut untuk melaporkan kekerasan. yang mereka lakukan. Sampai saat ini, banyak korban KDRT yang tidak dapat keluar dari siklus kekerasan karena takut atau takut melaporkannya ke penegak hukum.

Perlindungan Hukum Pada Hilangnya Kendaraan Akibat Lalainya Petugas Parkir dan Bagaimana Pertanggung Jawabannya. Oleh : Yessi Maharatiku


Yessi Maharatiku , Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang

Pada bulan maret seorang lelaki paruh baya bernama Hontas Tambunan yang selanjutnya di sebut hontas mengunjungi sebuah mall di jakarta tepatnya mall plaza cempaka mas bersama temannya Betatrix Deliana yang selanjutnya di sebut betrix dengan mengendarai mobil,.

sesampainya di mall tersebut seperti pada umumnya  saat memasuki area seperti mall pasti pengunjung harus melewati gate parkir untuk mengambil tiket parkir, di dalam tiket parkir tersebut tersedia barcode yang berisi informasi kedatangan seperti plat nomor kendaraan dan juga siapa yang mengemudinya.

seperti pengunjung pada umumnya Hontas memarkirkan mobilnya di deretan parkiran mobil lalu setelah itu ia melanjutkan kegiatannya ke dalam mall, setelah selang beberapa jam lelaki paruh baya bersama temannya sudah selesai dengan kegiatannya lalu kembali ke parkiran tempat mobilnya di parkir, sesampainya di parkiran mobil itu sudah tidak ada pada tempatnya alias hilang.

Lantas Bagaimana Petanggung jawaban Mall Atau pengelola Parkir atas hilangnya mobil milik Hontas?

Melihat Dari sudut pandang hukum perdata Menanggapi kasus tersebut yaitu diatur pada pasal 1366  kitab undang- undang hukum perdata Jo Pasal 1367 Kitab undang- undang hukum perdata yang berbunyi :

 

Pasal 1366 Kitab Undang-Undang HUkum Perdata

“setiap orang bertanggung jawab tidak hanya atas perbuatanya tetapi juga kelalaianya dan kurang hati-hati”.

Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

 “seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya, melainkan juga atas orang yang berada di bawah tanggungannya”.

Hilangnya Mobil tersebut seharusnya sudah menjadi tanggung jawab pengelola parkir sepenuhnya walaupun seringkali kita menemukan klausa- klausa seperti “ Kehilangan dalam tempat parkir ini di luar tanggung jawab pengelola Parkir “ .

Namun pada kenyataannya tidak bisa demikian karena pengelola parkir memiliki tanggung jawab penuh atas apa yang ia jaga dan pengelola parkir itu juga di bebankan ganti rugi penuh atas hilangnya kendaraan, Juga mengingat kelalaian pengelola menjadi alasan utama hilangnya Kendaraan tersebut, untuk memperkuatnya putusan Mahkamah Agung Nomor 124/PK/Pdt/2007 bisa menjadi landasan untuk menjadi acuan bagaimana pertanggung jawaban Pengelola parkir jika kendaraan yang di jaga nya hilang.

(Mata kuliah : Metode Penulisan Skripsi)

(Kelas : 06HUKP001)

 

Bentuk Pelecehan Verbal "Catcalling" Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Oleh: Vera Revanza Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang.

 

Vera Revanza Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang.

Catcalling termasuk dalam bentuk pelecehan secara verbal yang disepelekan banyak orang, tidak dapat dipungkiri di zaman sekarang masih banyak orang yang menganggap hal tersebut sebagai candaan atau iseng-iseng belaka. Bahkan pelaku sering melakukan jenis pelecehan ini ditempat umum dan tidak hanya dilakukan sendiri tetapi dapat dilakukan secara bergerombol, pelaku catcalling disebut catcaller

Padahal, catcalling ini sangat mengganggu walaupun terkadang terselip kalimat pujian seperti "Hei Cantik!", namun kalimat tersebut membuat seseorang merasa tidak nyaman dan ucapan lain seperti "Jalan sendirian saja", "Mau pergi ke mana?", "Mau ditemenin ga?", "Judes amat!". Selain itu, catcalling juga dapat dilakukan hanya dengan kicauan seperti burung, atau bercandaan segerombol orang yang bilang "Hei, ada yang mau kenalan nih!", serta mengucapkan kata-kata yang merendahkan dan menilai penampilan perempuan dan masih banyak lagi.


Sekarang, orang yang melakukan catcalling dapat dikenakan sanksi hukum. Setelah disahkan pada 12 April 2022, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dianggap mampu melindungi hak-hak korban pelecehan seksual. UU ini terdiri dari 93 Pasal dan 58 halaman, diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang kokoh terhadap semua jenis tindakan pelecehan seksual, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik. Di samping UU TPKS, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga memuat Pasal 289-296 yang berkaitan dengan perilaku cabul yang dapat menangkap pelaku, meskipun terminologi tersebut masih sesuai dengan kejadian catcalling yang mengandung unsur seksual. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana No. 44/2008 tentang Pornografi menegaskan bahwa perilaku catcalling dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini tercantum dalam Pasal 34-35 yang secara tegas mengatur hukuman bagi pelaku catcalling

Meskipun demikian, seringkali terjadi di masyarakat bahwa ketika seseorang menjadi korban suatu perbuatan, ia justru dituduh sebagai pelaku. Hal ini disebabkan oleh stigma negatif yang melekat pada korban, seperti berpakaian provokatif atau sering keluar di malam hari. Bahkan, catcalling tidak hanya terjadi pada ciri tersebut saja, namun yang menggunakan pakaian tertutup juga menjadi korban catcalling. Karena stigma ini, para korban seringkali enggan dan takut untuk melaporkan kejadian tersebut. Selain itu, sulit untuk membawa kasus ini ke pengadilan karena lemahnya dasar hukum atau kurangnya bukti yang kuat. 

Bentuk pelecehan verbal yang sering disebut catcalling semakin sering terjadi di sekitar kita tanpa disadari, namun istilah ini masih terbilang asing bagi masyarakat umum. Bahkan, ketika ada orang lain yang menjadi korban catcalling, orang di sekitarnya masih sering mengabaikannya dengan menganggap bahwa tindakan tersebut hanya bercanda belaka. Namun, tidak ada hubungan antara pelecehan verbal catcalling dengan sebuah lelucon karena tetap saja korban merasa tidak nyaman dan terancam. 

Seperti kasus yang terjadi pada seorang perempuan pengemudi sepeda motor dengan inisial R (22) diduga menjadi korban tindakan pencabulan atau pelecehan secara verbal "catcalling" oleh pengemudi truk (pikap) pada hari Rabu 16 November 2022.

R menceritakan bahwa insiden dimulai ketika ia sedang dalam perjalanan menuju tempat kerja dan tiba-tiba didekati oleh pengemudi truk (pik up) di Jalan Nusantara, Pancoran Mas, Depok, sekitar jam 13.40 siang.

Tidak lama setelah kejadian tersebut, pengemudi segera memanggil R dan mencoba untuk menyentuhnya. "Ketika saya sedang mengendarai sepeda motor dari arah kanan, tiba-tiba pengemudi pikap mendekati saya dari arah kiri dan memanggil, "Kamu, datanglah ke sini", setelah itu tangannya muncul dari jendela pintu," kata R saat diminta konfirmasi pada Rabu 16 November 2022.


R berlari cepat untuk menghindari pelaku dengan menyalip kendaraannya. Namun, sopir pikap tak menyerah dan terus membuntuti R hingga pelecehan terjadi lagi di flyover Arif Rahman Hakim. Pelaku mengeluarkan kalimat-kalimat seksisme kepada korban, yang diucapkan berkali-kali. "Terus di turunan flyover, dia (pelaku) mepet saya lagi dari kiri dan mengatakan, "Sayang, buka bajumu dong'" cerita R menirukan ucapan pelaku. Menurut R, pelecehan verbal dari sopir pikap terus berlangsung sepanjang perjalanan menuju tempat kerja di Margonda.

Ini membuat R sangat marah. Namun, pengemudi pikap itu tidak menghiraukan kekesalan R. "Saya merasa sangat kesal dan marah pada saat itu. Akhirnya, saya berteriak, tetapi dia (pengemudi pikap) tetap berani menatap wajah saya dan berkata, "Sayang, ayo dekatkan diri'," kata R. 

R tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia kemudian turun dari sepeda motor, mengeluarkan ponselnya untuk merekam pelaku. "Saya tidak bisa menahan emosi saya lagi. Kebetulan saya memegang ponsel saya, jadi saya langsung berhenti dan merekam serta mengambil foto dari pelaku," ujar R.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyebut pelecehan seksual tercantum sebagai kejahatan kesusilaan atau pelanggaran kesusilaan. Catcalling merupakan salah satu jenis pelecehan seksual yang banyak digunakan saat ini. Tindakan mana yang dilakukan secara verbal atau visual tertentu terhadap apa yang pelaku persepsikan pada objek atau korban. 

Perempuan yang menjadi sasaran pelecehan verbal "catcalling" tersebut belum tentu merasa aman dan nyaman. Korban kemudian akan mengalami masalah emosional, yang akan berdampak pada kehidupan sosial mereka. Korban dapat mengalami kecemasan, stress, depresi, bahkan pikiran untuk bunuh diri sebagai akibat dari trauma yang terjadi pada dirinya. Tentu saja, dari perspektif hukum Indonesia, hal ini harus mendapat pertimbangan serius. 

Sangat jelas dari penjelasan di atas bahwa pelecehan seksual adalah jenis kejahatan yang memerlukan undang-undang yang lebih tegas untuk melarang tindakan tersebut. Kita harus menyadari bahwa tindakan catcalling ini dapat mengakibatkan perselingkuhan atau jenis kekerasan seksual lainnya. Karena hanya ada sedikit bukti, umumnya sulit untuk membuktikan perbuatan pelecehan verbal "catcalling".