Kasus Kekerasan Seksual Dalam Keluarga Sangat Miris

PostJakarta
0


 

Sheila Safana Maharini Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang


Kronologi

Baru saja beberapa waktu lalu public dunia maya di kagetkan dan dibuat terharu atas kejadian yang menimpa Rangga yang dibunuh secara sadis karena membela sang ibu yang diperkosa oleh laki-laki yang bebas karena proses asimilasi akibat korona beberapa bulan yang lalu. Kejadian itu bukan kejadian satu-satunya yang terjadi namun banyak lagi kasus kekerasan yang terjadi terhadap anak sebelumnya. Seperti kejadian yang diliput oleh beberapa media kabar pria tuna netra, Baharudin (44) yang menikah dengan seorang gadis NS yang masih berusia 12 tahun, pada Selasa (30/6). Pernikahan yang digelar dengan mengusung adat Bugis Makassar terjadi di Desa Watung Palu, Kecamatan Suppa, Pinrang, Sulawesi Selatan, Ternyata ada fakta pahit di belakang pernikahan tersebut, yaitu untuk menutupi kebiadaban ayah tiri sang gadis yang sudah melecehkannya. Seperti yang diliput oleh Sarambinew.com ia mencabuli SF sejak 2018 lalu tapi baru ketahuan pada juni 2020 lalu setelah SF menceritakannya pada sang ibu kandung, Asia. Namun sang ibu bukannya lapor polisi, untuk menutupi aksi bejad suaminya malah menikahkan sang anak dengan pria tuna netra tersebut. Dua kasus di atas hanyalah sedikit contoh kasus kekerasan yang terjadi terhadap anak di Indonesia. Banyak lagi kasus lain yang tidak terjamah oleh media massa.

Untuk di Kalimantan Selatan sendiri ada 93 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak Januari sampai April 2020, dan it uterus bertambah sampai Oktober 2020. Kasus tersebut terdiri dari 49 kekerasan terhadap anak dan 44 kekerasan terhadap perempuan. Data kasus tersebut tercatat dan di tangani oleh Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kalimantan Selatan. Kita dapat membayangkan pasti lebih banyak lagi kasus kekerasan yang terjadi di masyarakat yang tidak di adukan ke Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Tersebut. Untuk jenis kekerasan yang selama ini di alami oleh anak dan perempuan di antaranya adalah kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Kemudian ada juga bentuk kekerasan lain terhadap anak yaitu penelantaran. Dan yang paling miris dari banyaknya bentuk kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah kekerasan seksual. Faktor yang melatarbelakingi terjadinya kekerasan tersebut menurut Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) adalah ekonomi, lingkungan, pendidikan, dan kurang siapnya ilmu dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Pada kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam keluarga sangatlah miris, salah satunya seperti kasus di atas mengenai pernikahan dengan pria tuna netra tersebut. Karena yang seharusnya keluarga berfungsi sebagai pemberi kasih sayang (afeksi) dan proteksi (memberi perlindungan) malahan yang terjadi sebaliknya. Walaupun dia anak tiri tidak seharusnya diperlakukan seperti itu. Sehingga peran orang tua sebagai pemberi perlindungan sudah tidak ada pada kasus tersebut. Yang lebih miris lagi ibu kandungnya sendiri melindungi perbuatan suaminya itu. Seperti yang kita tau bahwa keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak untuk membentuk kepribadian mereka dengan nilai dan norma yang dicontohkan oleh orang tua di dalam keluarga. Karena menurut Abercrombie, Hill, Turner (2010 : 529) sosialisasi adalah sebuah proses yang memungkinkan masyarakat tetap bertahan dan terjadi transmisi budaya dalam antar generasi. Sehingga dengan sosialisasi itu diharapkan anak dapat belajar untuk menyesuiakan diri dengan norma-norma sosial di masyarakat.

Namun jika yang disosialisasikan adalah nilai dan norma yang buruk seperti mencontohkan kekerasan kepada anak maka kepribadian yang terbentukpun akan sangat buruk. Banyak kasus di masyarakat tentang pelaku kekerasan ternyata dulunya adalah korban kekerasan baik korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) maupun kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang disekitar mereka. Dari pengalaman sebagai seorang pendidik pernah menjumpai ada beberapa siswa yang sering berkata kasar di kelas bukan hanya kepada sesama siswa kadang ada yang berani kepada gurunya sendiri. Untuk kepada sesama siswa kata-kata itu sangat terlihat sekali mengandung kekerasan verbal namun untuk kepada guru kadang mereka tidak sadar bahwa yang mereka ucapkan itu sangat tidak sopan dan mengandung kekerasan secara verbal.

Sehingga sangat penting selain pengobatan secara fisik kepada korban kekerasan juga sangat perlu pengobatan secara psikologis untuk anak-anak yang menerima kekerasan agar tidak menjadi pelaku kedepannya. Untuk pengobatan secara psikologis selain dibutuhkan para psikolog disaat awal-awal penyembuhan dari trauma kekerasan fisik maupun verbal juga keluarga yang merupakan kelompok terpenting, karena dalam lingkungan keluargalah ciri-ciri kepribadian yang mendasar dari individu akan terbentuk. Kemudian kelompok acuan berubah menjadi kelompok teman sebaya. Dalam kelompok ini masing-masing individu yang terlibat mempunyai kesamaan antara lain dalam usia dan status. Studi menunjukkan bahwa pada usia 15 tahun, kelompok sebaya telah menjadi kelompok acuan yang sangat penting dan barangkali mempunyai pengaruh yang paling penting pada sikap, tujuan dan norma perilaku (Horton, 1999). 

Artinya kelompok sebaya merupakan agen sosialisasi yang efektif dalam membentuk perilaku. Sehingga sebagai orang tua perlu mengarahkan anak agar berteman dengan anak-anak yang berperilaku baik. Yang selanjutnya adalah sekolah, karena di sekolah anak akan belajar secara utuh baik tentang kepribadian, emosi,dan dengan kemampuan peningkatan kemampuan intelektual. Yang terakhir adalah media massakarena media massa merupakan alat efektif untuk menyampaikan pesan yang dapat menjangkau sejumlah besar khalayak atau tidak dibatasi oleh wilayah geografis. Sehingga bagaimana cara orang tua agar dapat memonitoring media massa yang di tonton anak agar menjadi pembentuk kepribadian yang baik.

 

Idealnya orang tua harus mensosialisasikan nilai dan norma yang baik kepada anak agar terbentuk kepribadian yang baik juga yang sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Karena menurut Cohen (1961) dapat dikatakan bahwa individu sebagai anggota masyarakat akan selalu dijumpai suatu proses sosialisasi untuk mempelajari tata cara kehidupan untuk memperoleh kepribadian dan membangun kapasitasnya agar berfungsi dengan baik sebagai individu maupun anggota kelompok.Pengertian tersebut dilihat dari sudut pandang masyarakat sedangkan jika dilihat dari sudut pandang individu maka sosialisasi merupakan suatu proses dimana seorang individu akan memperoleh pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan perilaku yang berlaku dalam kelompok atau masyarakat. Pemahaman sosialisasi dapat dijelaskan dari pendapat yang dinyatakan oleh Yinger (1965), yang menyatakan bahwa sosialisasi akan membentuk kepribadian seseorang.

 Mengacu pada pemikiran Yinger, kepribadian atau personality, merupakan keseluruhan perilaku dari seorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang berinteraksi dalam serangkaian situasi tertentu.

 

Analisa Hukum

JERAT HUKUM BAGI PELAKU KEKERASAN TERHADAP ANAK

Pelaku kekerasan terhadap anak dapat dijerat Pasal 80 (1) jo. Pasal 76 c UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta.

Pasal 76 c UU No. 35 Tahun 2014

"Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak."

Pasal 80 (1) UU No. 35 Tahun 2014

"Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) Tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)."

 

Pendapat Hukum

Menurut saya jika dilihat dari sudut pandang masyarakat sedangkan jika dilihat dari sudut pandang individu maka sosialisasi merupakan suatu proses dimana seorang individu akan memperoleh pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan perilaku yang berlaku dalam kelompok atau masyarakat.diperlukan advokasi dan bimbingan baik di sekolah dan di lingkungan masyarakat untuk dapat memberikan sosialisasi tentang norma, etika dan hukum serta peraturan yg berlaku. Dapat dilakukan dengan adanya kerjasama dengan semua pihak baik dari unsur tokoh yg ada di masyarakat serta pemerintah daerah dan sekolah sekolah baik swasta dan negari.

(Sheila Safana Maharini Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Pamulang)



Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)