KUALAT DALAM ISLAM Oleh: KH. Asnawi Ridwan

PostJakarta
0


Akhir-akhir ini jagad medsos sedang diramaikan oleh ungkapan “kualat”. Viralnya ucapan tak senonoh ini muncul seiring dengan gonjang – ganjingnya satu partai dengan endingnya tergusurnya atau terkudetanya sang petahana. Disebut kualat, karena disangkutpautkan dengan kisah perjalanan politik masa lalu. 

Bagaimana pandangan islam terkait hal tersebut?

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia / KBBI disebutkan arti kualat adalah: mendapat ( kena ) akibat dari kelakuannya sendiri yang tidak senonoh. Di dalam pandangan islam, kualat sangat identik dengan pembalasan di dunia dari Allah bagi orang yang berbuat aniaya kepada makhluk lain terlebih berbuat aniaya kepada orang alim, guru, orang tua, dan pemimpin. 

Allah menyampaikan firmanNya:

وَلا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلاً عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ

“Dan janganlah sekali-kali Engkau menyangka Allah lalai dari apa yang dilakukan oleh orang-orang dholim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari di mana pandangan-pandangan terbelalak.” QS: Ibrahim ayat:42.


Nabi Muhammad SAW. bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيْذَنَّهُ [رواه البخاري]

“ Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: “Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dibandingkan ia melakukan hal yang Aku wajibkan terhadapnya. HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah (nafilah) kecuali Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Aku adalah (yang menolong) pendengarannya saat ia mendengar, penglihatannya saat ia melihat, tangannya saat ia memukul, dan kakinya saat ia melangkah. Jika ia meminta kepadaKu, sungguh Aku akan memberikannya. Jika ia memohon perlindungan kepadaKu, Aku akan melindunginya.” (H.R al-Bukhari)

Syekh Sahal al-Tustari RA yang dikutip oleh Syekh Abdul Wahhab al-Sya’roni menjelaskan:

واحذر أيضا ( من أذى الخلق ) انه من السموم القاتلة

“ Jauhkanlah dirimu dari menyakiti makhluknya Allah. Karena sesungguhnya menyakiti makhluknya Allah merupakan racun yang mematikan.” Kitab minahu ssaniyah halaman 13.

Di dalam kitab yang sama, juga ada penjelasan sebagai berikut:


وفي وصية سيدي علي بن وفا رحمه الله تعالى: إياكم أيها المريدون أن تقعوا في حق أحد من أقران شيخكم فإن لحوم الأولياء سم ولو لم يؤاخذوكم، وإياكم ثم إياكم من الاستهانة بغيبة أحد ولو لم تبلغه تلك الغيبة بل خافوا منها أكثر مما تخافون إذا بلغته فإنه وليه الله تعالى. فاعلم ذلك يا أخي. 

Artinya, “Dalam wasiat guruku Ali bin Wafa–Allah yarhamuh–, ‘Wahai para murid, waspadalah kamu terhadap hak salah seorang sahabat gurumu karena daging para wali adalah racun sekalipun mereka tidak mengambil tindakan terhadapmu. Waspada dan waspada atas penghinaan berupa ghibah terhadap salah seorang dari mereka sekalipun ghibah itu tidak sampai ke telinga mereka. Tetapi yang seharusnya paling kalian takuti adalah ketika ghibahmu sampai ke telinga mereka karena sungguh pelindung mereka adalah Allah. Sadarilah hal ini wahai saudaraku,” (Lihat Syekh Abdul Wahhab As-Sya‘rani, Syarah Al-Minahus Saniyyah, halaman 7).

Keterangan dari berbagai literasi ini sudah lebih dari cukup bagi kita bersama untuk memahami bahwa kualat itu memang benar-benar ada dan telah menimpa kepada mereka-mereka yang suka berbuat dholim kepada sesama. Marilah kita segera bertaubat atas kedhaliman yang pernah kita perbuat, agar kualat dan siksa Allah tidak kita alami.

Meskipun begitu, kita tidak boleh berburuk sangka / su’udzon  atas musibah yang dialami oleh orang lain dengan menuduh bahwa musibah tersebut sebagai bentuk kualat. Biarlah orang yang bersangkutan yang melakukan instropeksi diri. Jangan kita hina mereka terlebih lagi kita bully di medsos karena menghina atau membully juga termasuk perbuatan dholim yang mendatangkan kualat.

(KH. Asnawi Ridwan, Ketua Komisi Fatwa MUI Depok)

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)